Archive for Januari 2011

Mari Membuat Teleskop Sederhana


.

Mari Membuat Teleskop Sederhana
Banyak orang berpikir untuk dapat menjadi seorang astronom haruslah memiliki “ilmunya”, bahkan harus memiliki sebuah teleskop sebagai “mata” kedua yang digunakan untuk “berpatroli” langit. Tetapi untuk bisa mendapatkan teleskop di Indonesia masih cukup sulit. Kalau pun ada, harganya yang melambung tinggi dapat membuat kita berpikir 100x untuk membelinya…..
Nah, alternatif lainnya, bagaimana jika kita mencoba MEMBUAT-nya?……..
Dalam tulisan ini kita akan membahas tentang pembuatan teleskop refraktor. Untuk bisa membuat sebuah teleskop refraktor, bisa dikatakan gampang–gampang susah karena tidak mudah bagi kita untuk mendapatkan lensa dengan kualitas yang baik dan bagus, serta focus yang panjang. Tapi semua itu bukanlah masalah yang membuat kita mundur dan berhenti mencoba.
Untuk itu kita bisa menggunakan lensa LUP untuk membuat teleskop sederhana buatan sendiri. Tetapi alangkah baiknya lensa yang akan digunakan memiliki panjang focus maksimal 30cm. Karena di Indonesia lensa dengan panjang fokus > 30 cm masih sangat sulit untuk didapatkan.
Untuk lebih jelasnya berikut daftar nama bahan – bahan dan peralatan yang dibutuhkan :

  1. Lensa objektif LUP (kaca pembesar)/lensa cembung praktikum (biasa dijual di toko alat laboratorium)
  2. Pipa PVC dan perlup (sambungan pipa)
  3. Perkakas
  4. Lensa okuler (bisa menggunakan lensa binokuler atau lensa mikroskop) / bisa juga dengan membeli lensa di toko alat laboratorium dengan diameter 2,5 cm.
Sebelum kita mulai membuat, kita sediakan dahulu bahan bahan serta alat yang akan digunakan seperti yang ada diatas.
Langkah Pembuatan :
  1. Tentukan panjang badan teleskop dahulu. Dengan rumus fisika yang sudah kita ketahui yaitu : fob + fok = L
  2. Potong pipa PVC yang panjangnya sudah diketahui
  3. Letakkan lensa objektif kedalam sambungan pipa, lalu sambungkan sambungan pipa yang sudah berisi lensa tadi diujung paling depan pipa PVC yang udah diukur. Ingat lensa objektif selalu terletak didepan lensa okuler.
  4. Foto01 Foto02
  5. Pasangkan perlup diujung paling belakang pipa
  6. Foto03
  7. Letakkan lensa okuler diperlupnya
  8. Foto04
Nah…..gampangkan membuatnya? Dari semua bahan diatas, yang lumayan sulit dicari adalah lensa okuler. Tetapi kita dapat mengambilnya dari lensa binocular, atau mikroskop (asal jangan “nyolong” punya sekolah ajah hehehehehe….). Tapi untuk lensa okuler bisa juga didapatkan di toko alat laboratorium dengan ukuran diameter 2,5 cm. Kisaran total untuk harga lensa objektif dan okuler jika dibeli di toko alat laboratorium bisa mencapai ± Rp. 75.000,-  s.d Rp. 100.00,-.
leadtele
Foto06
_____
Modul pembuatan teleskop ini dibuat oleh Iqbal Malik dan Haikal Hakim. Keduanya aktif terlibat dalam Pembuatan Teleskop Amatir (Amateur Telescope Making) dan

Jejak Langkah Astronomi di Indonesia


.

Jejak Langkah Astronomi di Indonesia

Astronomi, ilmu yang satu ini hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, ia lahir bersama dengan kekaguman dan keingintahuan manusia akan langit dan apa yang ada di sana.
Kekaguman yang melahirkan pencarian. Tidak masalah apakah pencarian itu kemudian berbuah pada sebuah hasil yang saintifik ataukah ia hanya berhenti pada kaitan budaya dan kehidupan manusia. Kekaguman itulah yang membawa manusia pada kemajuan astronomi melintasi batas budaya dan kepercayaan, berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang membawa manusia menjelajah alam semesta yang mungkin di masa lampau tidaklah pernah terbayangkan.
Bagaimana dengan Indonesia?

Peradaban Awal Astronomi di Indonesia

Hala Na Godang kisah tentang Orion dari Batak. Kredit : Nggieng
Berabad-abad lampau ketika peradaban baru dimulai, catatan dan cerita turun temurun dalam budaya masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait astronomi. Cerita-cerita dari langit ini memberi interpretasi tersendiri akan obyek langit yang mereka lihat. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan’ Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilingé’na Sangiang Serri’ (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).
Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang – Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu.
Setiap interpretasi tidak sekedar memberi akan benda-benda langit, baik itu bulan, bintang, matahari, rasi bintang, Bima Sakti, namun juga kisah tentang proses terjadinya alam semesta.  Benda-benda langit ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun navigasi.
Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50° di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah.
Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Masyarakat di masa itu juga menentukan saat menanam dengan menggunakan bambu yang diisi air untuk mengukur ketinggian bintang. Pada posisi tertentu mereka akan bisa mengetahui apakah sudah saatnya memulai bercocok tanam atau belum.
Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Salah satu kisah yang diyakini merupakan bagian dari penggunaan langit sebagai navigasi adalah ditemukannya peninggalan berupa puisi dan gambar-gambar perjalanan masyarakat dari Indonesia menuju Afrika Selatan.
Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga  merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu. Pembangunan candi seperti Borobudur memberi penegasan dan petunjuk kemampuan nenek moyang dalam astronomi.

Astronomi di masa Penjajahan

Observatorium yang didirikan Mohr di Batavia. (Architectural drawing by J. Clement, 1768)
Kecintaan masyarakat Indonesia pada langit memang disampaikan kemudian secara turun temurun lewat berbagai kisah. Dan pencatatan pengamatan pada masa lampau memang “belum ditemukan”. Akan tetapi catatan yang menjadi penanda awal kebangkitan astronomi dan penggunaan instrumentasi dalam pengamatan dimulai di tahun 1761.
Pada abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstantan fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus.  Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769.  Dalam pemetaan yang diajukan,  kepulauan Malaya adalah tempat terbaik untuk melihat transit tersebut dalam durasi yang panjang dimulai dari ingress sampai egress.
Setelah melalui kisah panjang siapa yang akan mengamati transit tersebut, pada akhirnya Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC)  sebagai asisten mendatangi Johan Maurits Mohr  (18 August 1716, Eppingen – 25 October 1775 ) seorang pastor yang juga seorang penerjemah untuk menterjemahkan peta pengamatan okultasi Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Prancis. Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatan tersebut di tahun 1763. Publikasi lainnya tentang pengamatan Gerrit de Han, Pieter Jan Soele yang dibantu Mohr diterbitkan pada tahun 2004 dalam prosiding IAU dengan judul Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang “astronom”, dan  di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) dengan instrumen terbaik yang ada pada masanya, dan mulai melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi.  Diyakini observatorium pribadi Mohr itu berada di Gang Torong.
Tanggal 3 Juni 1769 Mohr melakukan pengamatan transit Venus dan transit Merkurius pada tanggal 10 November 1769.  Dan di kisaran tahun 1770-an, kegiatan Mohr memberi inspirasi pada orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda untuk melakukan gerakan saintifik.  Observatorium Mohr juga pernah dikunjungi Kapten James Cook dan Louis Antoine de Bougainville. Catatan pengamatan transit Venus dan Merkurius di tahun 1769 dipublikasikan dalam tulisan Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769 di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.
Observatorium Mohr dalam lukisan Johannes Rach 1770
Sayangnya observatorium Mohr tidak bertahan lama, hancur oleh gempa bumi dan tinggal puing-puing. Observatorium tersebut dihancurkan dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.

Observatorium Bosscha dan Pendidikan Astronomi di Indonesia

Observatorium Bosscha masa kini. kredit : ivie
Para pecinta langit ini juga punya kiprah yang cukup signifikan, karena di awal tahun 1920-an, Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging / NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) yang merupakan gabungan intelektual astronom Belanda, ahli fisika mau pun para pecinta astronomi di Hindia Belanda, merasakan kebutuhan untuk mendirikan observatorium di Indonesia.
Observatorium ini bertujuan untuk menjadi garda depan pengamatan astronomi di langit selatan. Apalagi saat itu langit selatan memang belum dikenal karena hampir tidak ada pengamatan dilakukan di belahan selatan selain di Afrika Selatan.
Observatorium itulah  yang kemudian dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht atau Observatorium Bosscha yang dibangun dari tahun 1923 – 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha juga berasal dari kalangan pemerhati astronomi yakni seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolph Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. Keduanya kemudian menyerahkan hak kepemilikan tanah mereka kepada NISV.
Selain penyandang dana utama K A R Bosscha juga menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan teleskop refraktor Bamberg.  Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karelbosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter dan ditemukan tahun 1971.
Setelah Bosscha didirikan, Dr. Joan Voûte kemudian menjadi direktur pertama di Observatorium tersebut. Voute dilahirkan di Madioen ini merupakan lulusan sipil di Delft yang kemudian karena kecintaannya pada astronomi justru mengabdikan hidupnya di astronomi dan melakukan berbagai pengamatan sebagai astronom profesional.  Voute sebelumnya bekerja di Observatorium Cape berhasil menghitung jarak Proxima Centauri sama dengan Alpha Centauri di tahun 1913. Pada tahun 1919, Voute kemudian diminta ke Indonesia untuk menjadi kepala Observatorium Bosscha yang pertama.
Bosscha Sterrenwacht. Kredit : Tropenmuseum
Pada masa berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha sempat dihentikan dan tidak hanya itu, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium.  Di tahun 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1959 setelah ITB didirikan.
Tahun 1951,  juga menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Dan pendidikan Astronomi di Indonesia juga sampai saat ini masih bernaung di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Selain Observatorium Bosscha dan Astronomi ITB, pada tanggal 31 Mei 1962 dibentuk juga Panitia Astronautika dan kemudian pada tanggal 27 november 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963.  LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa.
Akhir tahun 2008, Observatorium Hilal dan Astronomi di Aceh yang dikelola oleh Badan hisab Rukyat selesai dibangun dan berfungsi sebagai situs pengamatan hilal di kawasan ujung barat Indonesia. Selain hilal, observatorium ini bertujuan untuk pengamatan ilmiah astronomi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa serta berfungsi dalam hal pendidikan astronomi masyarakat Aceh.
Komunitas Astronomi dan Indonesia Masa Kini
Planetarium & Observatorium Jakarta. Kredit : Pramesti
Perkembangan pengenalan astronomi di Indonesia ternyata lebih banyak diberikan dalam pendidikan kepanduan atau Pramuka. Pengenalan rasi bintang dan navigasi langit menjadi point penting yang membawa siswa untuk mengenal lebih dekat langit dan isinya.
Di Indonesia, kelompok amatir yang menjadi wadah para pecinta astronomi memang belum ada sampai dengan era 80-an. Namun di era 1960-an, diyakini Santoso Nitisastro dari Observatorium Bosscha dan yang kemudian menjadi kepala Planetarium Jakarta pernah membuat kelompok untuk penyuka astronomi di Jakarta.
Tahun 1968 Planetarium Jakarta diresmikan dan menjadi mercusuar pengenalan astronomi kepada publik di ibukota negara Indonesia. Di tahun 2002 planetarium lainnya di Tenggarong dengan nama Planetarium Jagat Raya Tenggarong dibuka di Tenggarong Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.
Di tahun 1977, dibentuklah Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), tujuannya adalah untuk menampung keinginan astronomi di Indonesia termasuk di dalamnya astronom amatir sekaligus mendorong pengamatan astronomi oleh masyarakat. Dan untuk merealisasikan hal tersebut, sekretaris pertama HAI adalah seorang wartawan Pikiran Rakyat yang juga penyuka astronomi. Hal ini dimaksutkan agar informasi astronomi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.  Keberadaan HAI juga menjadi kunci penting diterimanya Indonesia di IAU.
Di tahun 1983 saat  fenomena gerhana matahari total melewati Indonesia, terjadi peningkatan minat masyarakat terhadap astronomi. Kala itu, Planetarium Jakarta mengadakan pengamatan Gerhana Matahari Total (GMT) 1983 dan dalam persiapannya ada salah satu anggota Pramuka yang sering ikut serta bernama Kak Har.  Dan ternyata setelah pengamatan GMT berakhir, Kak Har dkk masih sering berkumpul dengan Pak Darsa untuk membicarakan persiapan pengamatan komet Halley di tahun 1985 / 1986. Maka akhirnya dibentuklah Himpunan Astronomi Amatir Jakarta di tahun 1984. HAAJ kemudian berkiprah untuk menampung para pecinta astronomi di Jakarta dan sekitarnya, serta melakukan pengamatan publik di sekolah-sekolah. Di Tahun 1989 HAAJ sempat vakum dan setelah Widya Sawitar masuk ke Planetarium Jakarta di tahun 1992, pada tahun 1994 HAAJ memulai kembali kegiatannya. Di tahun 2010, HAAJ kehilangan salah seorang motor penggeraknya yang juga mantan ketua HAAJ yakni Tersia Marsiano yang meninggal tanggal 6 Desember 2010.
Sampai hari ini terhitung HAAJ adalah kelompok astronomi amatir paling aktif yang ada di Indonesia. HAAJ juga membina kelompok KIR di sekolah-sekolah seperti FOSCA (Forum Of SCientist teenAgers),  Kastro Sirius (SMAN 89), Kastro Polaris (SMAN 38), Kastro Lunar (SMAN 3 Bogor), KIR Orbit (SMAN 1 Bogor), Forum Pelajar Astronomi (FPA). Kelompok pecinta astronomi juga berkembang secara mandiri di sekolah-sekolah seperti di Sekolah Madania Bogor ataupun di SMA Negeri 1 Subang dll.
Di era-90an, mahasiswa Astronomi ITB sempat membentuk beberapa kelompok pecinta astronomi untuk mewadahi penggemar langit ini di Bandung seperti misalnya HAAB dan Zenith  yang kemudian non aktif sampai saat ini. Di luar astronomi ITB, kelompok mahasiswa Fisika UPI juga membentuk himpunan pecinta astronomi bernama Cakrawala.
Di Indonesia saat ini selain kelompok astronomi yang sudah disebutkan masih ada beberapa klub astronomi di daerah yang berbasiskan klub daerah ataupun dari sekolah. Seperti halnya JAC dan CASA di Jogjakarta dan Solo yang aktif melakukan pengamatan untuk keperluan hilal maupun populerisasi di masyarakat. Selain itu ada juga Atjeh Astro Club yang terbentuk setelah observatorium Hilal di Aceh dibangun untuk keperluan pengamatan hilal di ujung barat Indonesia.  Di Jawa Timur, beberapa anggota HAAJ juga merintis terbentuknya Asosiasi Astronomi Surabaya sedangkan  para guru pembina astronomi di Bandung membentuk Forum Pembina Astronomi (FPA) yang bertujuan untuk berbagi ilmu pengetahuan dalam hal astronomi sebagai bahan ajar di sekolah.
Di dunia maya, kegiatan memperkenalkan astronomi dimulai oleh mailing list Astronomi Indonesia di tahun 2001 yang sampai saat ini sudah memiliki 984 peserta. Di tahun 2005, alumni astronomi yang juga ingin berbagi ilmu astronomi kepada pecinta astronomi di Indonesia mencoba membuat majalah astronomi namun sayangnya tidak berhasil.
Di tahun 2007, para penggagas majalah astronomi ini kemudian membangun langitselatan sebagai media edukasi dan informasi astronomi pada masyarakat. Media tersebut kemudian berkembang sebagai komunitas dunia maya yang juga melakukan berbagai kegiatan publik dan terlibat aktif sebagai kontak bagi beberapa komunitas astronom amatir di dunia seperti Astronomer Without Border dan Sidewalk Astronomer.
Perkembangan astronom amatir dalam berkiprah di dunia astronomi tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun hanya sebagai hobi, para astronom amatir ini bisa juga memberi kontribusi dalam berbagai penemuan maupun kontribusi profesional layaknya profesional astronomi. Selain bagi pecinta astronomi yang membutuhkan wadah, kegiatan astronomi bagi siswa dan guru juga punya wadah tersendiri yakni di Global Hands on Universe dan Galileo Teacher Training Program yang bertujuan untuk memberika edukasi dasar bagi para guru mengenai astronomi dan alat-alat yang dipergunakan agar dapat diajarkan kepada siswa untuk kemudian dikembangkan sendiri maupun berkontribusi dalam penelitian sederhana.
Di masa depan, perkembangan astronomi di Indonesia akan membutuhkan kerjasama aktif antara astronom profesional dan astronom amatir untuk menghasilkan hasil ilmiah sekaligus edukasi aktif pada masyarakat.

aku mencintaimu


.


Ada kekasih yang membuktikan cintanya dengan jutaan kalimat pujian & rayuan,
Ada pula dengan sikap yang penuh kasih,..
Tak sedikit dengan pengorbanan yg meluluhlantahkan harga diri,
Ada pula dengan menguras tenaga & materi.

Namun bagiku, aku mencintaimu deg menundukkan wajahku padamu. Bukan karena aku ingin berpaling darimu, tapi karena aku ingin menjaga pandanganmu dari panah-panah iblis..

Aku mencintaimu dengan tidak melemahlembutkan suaraku padamu.
Bukan karena aku ingin menyakitimu, namun karena aku ingin menjaga hatimu dari bisikan syaithan yg menipu..

Aku mencintaimu dg menjauh darimu,
Bukan karena aku membencimu, namun karena aku ingin menjagamu dari khalwat yg menjebak..

Aku mencintaimu dg menjaga dirimu & diriku, menjaga kesucianmu & kesucianku, menjaga kehormatanmu & kehormatanku, menjaga kebeningan hatimu & hatiku..

Tak mengapa saat ini kita jauh, karena kelak Allah yang akan menyatukan kita dalam ikatan suci-Nya.
Sebab itu jauh lebih berarti & jauh lebih abadi,
Karena ku yakin, janji Allah adalah pasti, "Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik", pun sebaliknya.

Ya, seperti inilah aku mencintaimu.
Aku mencintaimu dengan menjaga kesucian diri, jiwa, & hatiku, hanya untuk ku persembahkan padamu kelak, siapapun dirimu nanti.

Oleh karena itu, tolong,..
Jagalah kesucian cintamu juga hanya untukku.
Rabbi, pada-Mu kutitipkan cintaku padanya...

Geminids


.

geminids

by Afifah Qonitati Rabbani on Tuesday, January 4, 2011 at 11:22am
Setiap hari Bumi diguyuri batuan dari antariksa dalam kuantitas yang cukup besar. Astronom Linda Elkis T. Tanton menuturkan sebanyak 55 hingga 216 juta ton batuan antariksa menerobos atmosfer Bumi per hari, yang jika dikumpulkan di satu tempat bisa membentuk sebuah bukit.

Citra komposit instrumen kamera HI–1 STEREO–A pada 17–22 Juni 2009. Lingkaran putih menunjukkan posisi 3200 Phaethon yang terekam dari waktu ke waktu. Busur putih di sisi kiri menunjukkan posisi radius 0,14 SA dari Matahari (jarak perihelion Phaethon). Busur putih tersebut menjadi dasar kerucut yang berpuncak di Matahari (tidak diperlihatkan) dengan sisi–sisi berupa sepasang garis putih. Kerucut ini membatasi area dimana aktivitas pita koronal Matahari berskala besar terjadi pada 20 Juni 2009 pukul 15:49 WIB. Kredit foto : Jewitt & Ling
Batu–batu itu terpanaskan demikian hebat ketika bergesekan dengan molekul–molekul udara sehingga membara sebagai meteor dan mayoritas diantaranya menguap di atmosfer. Sebagian diantaranya merupakan meteoroid yang semula adalah debu terhambur dari komet akibat tekanan radiasi angin Matahari kala benda langit ini bergerak mendekati titik perihelion orbitnya.
Kita di Bumi menyaksikan meteor sisa komet ini seolah–olah muncul dari satu titik dalam sebuah konstelasi bintang tertentu dengan intensitas cukup tinggi yang bisa mencapai puluhan meteor per jam, yang dikenal sebagai hujan meteor periodik (showers). Hujan meteor periodik senantiasa dinanti pecinta langit, sebab memiliki jadwal kedatangan relatif tetap setiap tahunnya dan sanggup menyajikan panorama langit nan spektakuler. Hujan meteor Leonids di tahun 1966 dan 1998 misalnya, demikian menggetarkan siapapun yang melihatnya oleh panorama melintasnya sekitar 100 ribu meteor di langit setiap jamnya.
Di antara sesama hujan meteor periodik, Geminids adalah nama yang kian menanjak popularitasnya khususnya sepanjang tiga dekade terakhir. Berbeda dengan Leonids yang fluktuatif dengan intensitas rata–rata 10 meteor perjam di setiap tahunnya kecuali dalam kurun 33 tahun sekali, maka Geminids yang muncul setiap awal hingga pertengahan bulan Desember tergolong hujan meteor konstan berintensitas besar dimana ZHR (zenith hourly rate)–nya mencapai 120 meteor/jam dengan kecepatan 35 km/detik. Ini sedikit lebih besar dibanding hujan meteor Perseids yang tak kalah populernya dan muncul setiap akhir bulan Juli hingga akhir bulan Agustus, yang konstan pada ZHR 110 meteor/jam dengan kecepatan 59 km/detik. Bedanya, jika meteor Perseids bersumber dari debu–debu komet periodik 109 P/Swift–Tuttle, apa yang menjadi sumber meteor Geminids masih berselubung teka–teki. Keunikan lainnya, Geminids acapkali memproduksi fireball, yakni meteor yang sangat cemerlang sehingga bisa menyamai kecerlangan planet Venus (magnitude visual –4).
Misi antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) yang diluncurkan pada awal dekade 1980–an sempat menyodorkan peluang guna menjawab teka–teki sumber Gemidis. Astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang menganalisis citra IRAS 11 Oktober 1983 berhasil mengidentifikasi adanya asteroid redup 3200 Phaethon (1983 TB) sebagai pengorbit Matahari pada lintasan lonjong dengan perihelion 0,14 SA; aphelion 2,4 SA; periode 1,432 tahun; eksentrisitas 0,89 dan inklinasi 22,2°. Inilah asteroid pertama yang terdeteksi lewat observasi landas Bumi.
Orbit Phaethon sangat lonjong sehingga tergolong pelintas Mars, Bumi, Venus dan Merkurius. Perihelionnya jauh lebih dekat ke Matahari dibanding perihelion Merkurius sementara aphelionnya jauh melambung di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Yang mengejutkan, karakteristik orbit Phaethon ternyata sesuai dengan meteor Geminids seperti ditunjukkan oleh kriteria Drummond. Padahal sebelumnya diketahui sumber sebuah hujan meteor periodik selalu berhubungan dengan sebuah komet tertentu. Observasi demi observasi selanjutnya kian menegaskan status Phaethon sebagai asteroid, dengan diameter 5 km dan albedo 5 + 1 % tanpa adanya tanda–tanda pelepasan massa dari permukaannya entah sebagai gas atau debu. Phaethon tergolong asteroid langka sebab secara optis nampak biru dimana hanya 4 % populasi asteroid yang demikian.
Eksistensi Phaethon tidak lantas membuat teka–teki Geminids terselesaikan. Sebaliknya, Phaethon justru memancing perdebatan baru akan kemampuan asteroid sebagai sumber hujan meteor. Asteroid memang merupakan sumber meteor, namun berupa meteor spontan yang sifatnya random dan tak terjadwal. Komposisi asteroid sangat berbeda dengan komet, sebab merupakan bongkahan atau butir–butir batuan yang tidak mengandung unsur–unsur volatil pada keraknya seperti air, karbondioksida, sianogen, metana dan gas–gas lain yang acapkali ditemukan pada komet.
Penemuan demi penemuan asteroid yang mirip seperti 4015 Wilson–Harrington, 7968 Elst–Pizzaro dan 2201 Oljato kian memanaskan perdebatan, sebab asteroid–asteroid tadi memiliki sifat yang hanya dimiliki komet seperti bentuk ekor maupun refleksi ultraviolet nan tinggi, namun tidak menampakkan aktivitas lainnya seperti coma maupun emisi gas–gas tertentu. Sempat muncul hipotesis aktivitas mirip komet dari asteroid–asteroid tersebut adalah emisi debu hasil tumbukan dengan sesama asteroid lainnya. Belakangan hipotesis ini menemukan bukti awalnya saat Hubble Space Telescope menyajikan hasil observasi komet P/2010 A2, yang semula diidentifikasi sebagai komet periodik namun ternyata adalah asteroid yang baru saja ditumbuk sesamanya.
Dengan demikian apakah Geminids berasal dari tumbukan asteroid Phaethon dengan sesamanya, yang membuat keraknya terhambur ke angkasa sebagai remah–remah batuan halus? Dengan densitas 2,5 gram/cc dan asumsi diameter efektif 5 km maka Phaethon memiliki massa 1,6 x 1014 kg. Sedangkan massa Geminids diindikasikan 1012 hingga 1013 kg, sehingga ekstrapolasinya bagi Phaethon setara dengan pelolosan massa kerak setebal 5–50 meter. Perhitungan sederhana tersebut memperlihatkan Geminids bisa saja berasal dari Phaethon. Argumen ini seakan menemukan buktinya menyusul penemuan asteroid 2005 TD. Asteroid bergaris tengah 1,3 km itu secara optis dan dinamis sama karakteristiknya dengan Phaethon.
Belakangan diketahui asteroid 1999 YC juga memiliki karakteristik dinamis yang sama dengan Phaethon, meski secara optis tidak. Penemuan demi penemuan ini membuat sejumlah astronom berspekulasi bahwa Phaethon, 2005 TD dan 1999 YC mungkin adalah bongkahan–bongkahan besar yang tersisa dari tumbukan terhadap terhadap asteroid Pallas (garis tengah 544 km) yang saat ini menghuni kawasan Sabuk Asteroid Utama. Kemungkinan ini ditunjang oleh pemodelan numeris Bottke dkk (2002) yang memperlihatkan asosiasi Phaethon dengan anggota Sabuk Asteroid Utama bagian dalam dengan probabilitas hingga 80 %.
Namun spekulasi ini dimentahkan oleh umur Phaethon dan posisi sumber Geminids. Phaethon diindikasikan telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun silam, sehingga tumbukan yang memecahbelah Pallas sekurang–kurangnya terjadi 26 juta tahun lalu. Sebaliknya Geminids merupakan hujan meteor berusia muda, dimana model numerik dengan memasukkan efek tekanan radiasi dan gangguan gravitasi antar planet mengindikasikan meteoroid–meteoroid Geminids terbentuk 600 hingga 2.000 tahun silam.
Geminids sendiri baru mulai teramati sejak 1,5 abad terakhir, tepatnya sejak tahun 1865. Astronom NASA William Cooke menuturkan, analisis lebih teliti terhadap sumber Geminids menyimpulkan meteoroid itu bersumber dari lingkungan sangat dekat dengan Matahari, bukan jauh di kedalaman Sabuk Asteroid Utama. Sehingga sumber Geminids terlokalisir di Phaethon sendiri khususnya perilakunya pada titik perihelionnya, bukan sebagai hasil tumbukan yang diduga telah memecahkan Pallas jutaan tahun silam. Untuk itu observasi terhadap dinamika optis Phaethon saat berada di titik perihelionnya mutlak diperlukan.
Observasi terlaksana ketika Phaethon menempati titik perihelionnya pada 20 Juni 2009. Dalam posisi itu Phaethon berada dalam lingkup medan pandang satelit pengamat Matahari STEREO, meski dari sepasang satelit STEREO hanya satu saja (yakni STEREO–A) yang berhasil mengidentifikasi pergerakan Phaethon khususnya lewat instrumen kamera SECCHI HI–1 pada rentang waktu 17–22 Juni 2009. Analisis pendahuluan mengidenfitikasi adanya peningkatan kecerlangan Phaethon secara dramatis, fenomena yang mengejutkan sebab selama ini hanya bisa teramati di komet.
Tertarik akan fenomena ini maka David Jewitt dan Jing Li, keduanya astronom University California of Los Angeles, memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ternyata benar, Phaethon memang mengalami peningkatan kecerlangan yang spektakuler hingga 2 magnitude (6 kali lipat) dari sebelumnya saat di perihelionnya. Namun pada saat yang sama aktivitas Matahari sedang mengalami sedikit lonjakan yang ditandai terdeteksinya pita koronal berskala besar meski tidak sempat berkembang menjadi pelepasan massa (coronal mass ejection).

Perbandingan peningkatan kecerlangan pada Phaethon (kurva atas) dengan langit latar belakang (kurva bawah) yang disebabkan oleh lonjakan kecil aktivitas Matahari. Sekilas kedua kurva nyaris identik, namun kurva bawah mulai menanjak menuju puncak 12 jam sebelum kurva atas mengalami hal serupa. Ini mengindikasikan kecerlangan Phaethon tidak dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas Matahari. Kredit foto : Jewitt & Ling
Analisis secara hati–hati memperlihatkan peningkatan kecerlangan Phaethon tidak berhubungan dengan lonjakan aktivitas Matahari karena lonjakan tersebut sudah terjadi sejak 12 jam sebelumnya. Kecerlangan Phaethon juga tidak berhubungan dengan stimulasi oleh hantaman partikel bermuatan dari angin Matahari ke permukaan Phaethon. Pun demikian, kecerlangan Phaethon bukanlah emisi fluoresensi oleh interaksi foton sinar–X maupun ultraviolet Matahari dengan permukaan Phaethon. Kecerlangan tersebut berhubungan dengan hamburan sinar Matahari dari partikel debu yang diemisikan Phaethon ke lingkungan. Namun dengan posisi Phaethon demikian dekat terhadap Matahari, aktivitas pelepasan debu tersebut tidak mungkin digerakkan oleh sublimasi air dari padat ke uap, maupun oleh gas–gas volatil lainnya. Dalam jarak 0,14 SA dari Matahari, sisi Phaethon yang menghadap ke Matahari akan memiliki suhu 470o C hingga 780o C. Dengan perkiraan Phaethon telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun lalu maka panas yang diterima permukaannya dikonduksikan secara kontinu ke interior Phaethon sehingga suhu inti bisa mencapai 30o C. Secara keseluruhan disimpulkan kala Phaethon berada di perihelionnya, ia menjadi benda langit yang terlalu panas sehingga tak mungkin air berbentuk es bisa eksis.

Apparent magnitude Phaethon terhadap sudut fase dibandingkan benda langit hipotetik di posisi Phaethon yang memiliki fungsi sudut fase seperti terukur di Bulan (kurva merah) dan inti komet Tempel (kurva hitam). Nampak Phaethon mengalami lonjakan apparent magnitude hingga +2,0 (6 kali lipat) dari semula, yang tidak terjadi pada benda–benda langit hipotetik tersebut. Ini menunjukkan adanya perubahan karakteristik permukaan Phaethon secara mendadak di perihelionnya sehingga diikuti peningkatan kecerlangan. Kredit foto : Jewitt & Ling
Pemodelan Jewitt dan Ling memperlihatkan pelepasan debu dari permukaan Phaethon salah satunya disebabkan oleh pemecahan mineral terhidrat. Sebagai fragmen Pallas, Phaethon tergolong asteroid tipe C yang kaya mineral terhidrat seperti filosilikat (lempung). Di Bumi, terpecahnya lempung bisa ditemukan pada lapangan–lapangan berlumpur yang dipanggang terik Matahari, sehingga terjadi penyusutan yang membentuk retakan–retakan di permukaannya. Proses yang sama diduga terjadi di Phaethon. Selain itu produksi debu juga disebabkan oleh pemuaian badan Phaethon akibat tekanan interior yang dikontrol oleh perbedaan suhu siang dan malam yang dramatis. Dengan periode rotasi 3,6 jam dan variasi suhu siang–malam Phaethon sebesar 230o C didapatkan tekanan interior Phaethon mencapai 500–5.000 bar, jauh lebih tinggi dibanding batas tekanan yang bisa diterima batuan sebelum terpecah yakni 100 bar.

Profil kecerlangan permukaan Phaethon sebelum dan sesudah mengalami peningkatan kecerlangan, masing–masing ditandai dengan lingkaran hitam dan putih. Nampak bahwa hingga 100 detik busur dari pusat Phaethon, terdeteksi adanya perbedaan kecerlangan antara sebelum dan sesudah peningkatan kecerlangan, sementara pada radius lebih dari 100 detik busur tidak teramati. Kredit foto : Jewitt & Ling,
Jewitt dan Ling juga memperlihatkan, tiadanya uap air dan gas–gas lainnya membuat debu Phaethon hanya sanggup terlepas dari permukaan lewat tekanan radiasi foton Matahari. Namun tekanan radiasi hanya sanggup mendorong partikel–partikel debu yang diameter maksimumnya 1 mm. Fenomena pelepasan debu Phaethon membuat Jewitt dan Ling mengusulkan perlunya klasifikasi baru bagi komet, yakni komet batu, yang mengemisikan debu dari permukaannya lewat kombinasi dekomposisi dan peretakan batuan di bawah lingkungan suhu tinggi tanpa sedikitpun melibatkan air maupun gas–gas volatil lainnya. Dengan debu 1 mm, Phaethon mengemisikan 2,5 x 108 kg debu setiap kali mencapai perihelionnya. Jumlah ini sangat kecil karena bila dibandingkan massa meteoroid Geminids, secara kasar bisa dikatakan bahwa dalam setiap 10 ribu partikel meteoroid Geminids hanya sebutir yang beasal dari Phaethon. Dengan kata lain emisi debu Phaethon hanyalah komponen minor dalam meteoroid Geminids.
Pertanyaan mengenai asal–usul sumber Geminids memang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini. Geminids berasal dari lingkungan di dekat Matahari, namun hanya sebagian sangat kecil saja yang berasal dari emisi debu Phaethon di titik perihelionnya. Dan kini muncul klasifikasi baru : komet batu, dimana Phaethon adalah anggota pertamanya.


begini cara kerja bintang


.

begini cara kerja bintang

by Afifah Qonitati Rabbani on Tuesday, January 4, 2011 at 11:45am
Pada bagian pertama kita telah mengetahui perihal kestabilan bintang yang ditopang oleh gaya tekanan radiasi dan gaya gravitasi. Selanjutnya, pada bagian kedua, kita mengikuti proses olah pikir yang menyimpulkan bahwa energi radiasi dihasilkan dari proses radioaktif dan bahwa pengamatan spektrum cahaya Matahari sepanjang abad ke-19 menunjukkan bahwa Matahari penuh dengan Hidrogen.

Norman Lockyer menemukan unsur misterius pada Matahari, unsur yang tidak ditemukan di Bumi
Pada tahun 1868, secara hampir bersamaan, astronom Perancis Pierre Janssen dan astronom Inggris Norman Lockyer mengamati adanya unsur misterius pada Matahari. Sebuah unsur yang tidak ditemukan di Bumi. Lockyer kemudian menamai unsur misterius ini Helium, dari kata Bahasa Yunani “Helios” yang berarti Matahari.
Baru sekitar 30 tahun kemudian pada tahun 1895, kimiawan Skotlandia, William Ramsay secara tak sengaja menemukan gas Helium di Bumi. Ramsay membakar asam belerang untuk mencari Argon, namun setelah memisahkan gas Nitrogen dan Oksigen yang tercipta dari hasil pembakaran tersebut, Ramsay melihat adanya spektrum unsur misterius Helium tersebut. Bersama-sama, Hidrogen dan Helium pada umumnya adalah dua unsur paling berlimpah dalam sebuah bintang. Matahari kita, misalnya, mengandung 34% Hidrogen dan 64% Helium, dan 2% adalah gabungan unsur lain-lainnya.
Rahasia berabad-abad tentang penyusun dasar Matahari telah terjawab. Ketika astronom mengarahkan spektroskopnya ke arah bintang-bintang lain, terkuaklah misteri lain tentang hakikat bintang: spektrum bintang ternyata sama dengan Matahari! Dengan kata lain, Matahari adalah bintang yang letaknya sangat dekat dengan kita. Bintang dan Matahari adalah objek yang sama namun jarak bintang jauh lebih besar daripada jarak Bumi kita menuju Matahari. Besarnya peran spektroskopi dalam menguak rahasia alam ini kemudian dikenang dengan memparodikan teks lagu Bintang Kecil dalam Bahasa Inggris:
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.

Kenapa Matahari dan bintang dapat bersinar? Dari mana energinya? Penelitian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengenai hakikat atom dan radioaktivitas menyimpulkan bahwa reaksi nuklirlah yang membangkitkan energi Matahari. Pada bagian kedua, kita telah melihat bahwa Hidrogen yang jumlahnya berlimpah di dalam Matahari dapat melangsungkan reaksi nuklir hingga milyaran tahun. Seperti bagaimanakah reaksi nuklir ini?
Reaksi fusi dapat terjadi dalam kondisi yang teramat ekstrim, dan telah diperkirakan bahwa inti Matahari cukup ekstrim untuk dapat melangsungkan reaksi tersebut. Sebagaimana kita ketahui, suhu pada inti Matahari berkisar 15 juta Kelvin. Dalam teori dinamika gas, suhu suatu gas menyatakan energi kinetik yang terkandung dalam gas tersebut, akibat gerakan-gerakan atom dari gas tersebut. Suhu yang amat tinggi dalam suatu gas menyatakan gerakan atom yang amat luar biasa. Tekanan yang amat tinggi juga dapat menyatakan kerapatan dari gas tersebut. Semakin rapat suatu gas, semakin dekat jarak antar nukleus atom satu sama lain.

Agar dapat terjadi reaksi fusi, sebuah nukleus harus memiliki energi yang lebih besar daripada potensial penghalang pada jarak kritis 10-15 meter, agar gaya nuklir kuat dapat mengalahkan gaya listrik.
Untuk memicu adanya reaksi fusi, dua buah atom harus dapat mengatasi gaya tolak antara keduanya. Inti atom memiliki muatan positif yang saling tolak-menolak apabila bertemu muatan sejenis. Akibatnya, dua buah atom Hidrogen yang dipertemukan akan saling menolak. Gaya tolak ini akan semakin besar apabila jaraknya semakin dekat. Namun apabila jarak antara dua atom ini sangat dekat maka gaya tarik yang disebut gaya nuklir kuat dapat mengatasi gaya tolak-menolak antara kedua nukleus, mengikat kedua inti Hidrogen dan membentuk Helium. Berapa jarak minimal yang harus dicapai dua atom Hidrogen agar dapat melebur menjadi Helium?
Dengan berbekal pengetahuan fisika nuklir, Fritz Houtermans mencoba menjawab pertanyaan ini. Ia lahir di Zoppod, sebuah kota kecil di dekat Danzig di Jerman Baltik (kini bernama Gdansk dan berada di Polandia). Pada tahun 1920an ia bekerja sebagai peneliti di Gottingen, Jerman, dan bekerjasama dengan peneliti Inggris bernama Robert d’Escourt Atkinson untuk menjelaskan reaksi nuklir dalam Matahari. Bersama-sama, mereka menghitung bahwa jarak minimal yang harus dicapai kedua atom adalah 10-15 meter atau satu per satu trilyun milimeter(!) Mereka yakin bahwa kerapatan gas di pusat Matahari sangat tinggi sehingga jarak antar atom akan sangat dekat, dan terlebih lagi energi kinetiknya akan sangat tinggi sehingga gerakan mereka akan sangat cepat. Besar kemungkinan akan ada atom-atom yang dapat mencapai jarak sekecil ini dan memicu reaksi nuklir. Hasil perhitungan mereka dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Zeitschrift für Physik pada tahun 1929. Begitu senangnya Houtermans dengan hasil perhitungan mereka, sehingga sorenya ia membanggakan hasil penemuannya pada gadis yang dikencaninya. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang dan pacarnya berkata, “cantik sekali ya sinar bintang-bintang itu?” Houtermans menjawab, “Sejak kemarin aku sudah tahu apa yang menyebabkan mereka bersinar.” Charlotte Riefenstahl, gadis itu, dengan terkagum-kagum kemudian menikahinya.
Houtermans boleh berbangga diri, namun masih ada problem dengan temuannya mengenai jarak minimal yang dapat memicu reaksi fusi. Pada jarak kritis ini, besarnya energi potensial yang ditimbulkan kedua atom adalah sekitar 1000 kilo elektron Volt. Apabila sebuah atom yang telah mencapai jarak kritis ini tidak memiliki energi yang lebih besar daripada energi ini, maka peleburan tidak akan terjadi. Jadi ada semacam “dinding” potensial yang harus ditembus sebuah atom Hidrogen apabila ia ingin melebur dengan atom Hidrogen lain. Namun, setiap atom Hidrogen rata-rata hanya memiliki energi sebesar 1 keV, 1000 kali lebih kecil daripada energi kritis yang harus ditembus. Menurut statistik, sebagian kecil partikel memiliki energi yang sama atau bahkan jauh lebih besar daripada energi kritis ini. Akan tetapi, jumlah partikel yang berenergi tinggi ini sangatlah kecil sehingga reaksi nuklir yang terjadi tidak akan cukup besar untuk dapat berlangsung selama milyaran tahun. Bagaimanakah kita menjawab problem ini?
Teori Kuantum menyelamatkan problem ini dengan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam fisika. Apabila fisika abad ke-18 begitu deterministik dengan mengatakan bahwa posisi sebuah partikel dapat kita ketahui dari waktu-ke-waktu, maka teori kuantum mengatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui peluang menemukan sebuah partikel pada lokasi tertentu. Pada skala kecil dalam dunia partikel, posisi sebuah partikel sama sekali tidak pasti. Ia dapat berada di mana saja dan yang dapat kita tentukan hanyalah kebolehjadian bahwa ia akan berada di suatu lokasi. Dengan berbekal cara pandang ini, fisikawan kelahiran Ukraina, George Gamow, menyelesaikan problem halangan potensial ini melalui fenomena yang disebutnya “efek terowongan kuantum.” Melalui perspektif fisika kuantum, kita dapat menghitung peluang untuk dapat menemukan sebuah partikel berada di dalam jarak kritis tersebut, dan dengan demikian dapat melebur dan memulai reaksi nuklir. Peluang ini semakin meningkat dengan semakin tingginya energi partikel tersebut, dan dengan membandingkannya dengan distribusi energi suatu kumpulan partikel, dapat dihitung rentang energi di mana reaksi nuklir paling mungkin terjadi. Perubahan cara pandang ini memungkinkan kita menyelesaikan problem pembangkitan energi di dalam bintang. Gamow, fisikawan Uni Soviet yang kemudian melarikan diri ke Amerika Serikat, memikirkan efek terowongan untuk menjelaskan fenomena peluruhan dalam perspektif fisika kuantum. Namun kemudian diketahui bahwa efek terowongan ini juga berlaku secara umum dan dapat digunakan pula untuk menjelaskan fenomena sebaliknya yaitu bergabungnya inti-inti atom.

Hans Bethe pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1935 dan kemudian memimpin Divisi Teoritis di Laboratorium Los Alamos
Pekerjaan Houtermans tentang reaksi nuklir dalam bintang kemudian dilanjutkan oleh Hans Bethe. Lahir di Straßburg, Jerman (kemudian menjadi Strasbourg dan masuk ke wilayah Perancis) pada tahun 1906, Bethe memperoleh gelar Doktornya dari Universitas Muenchen, Jerman, di bawah bimbingan Arnold Sommerfeld. Setelah bekerja di Cambridge dan di Roma bersama Enrico Fermi, Bethe mengajar di Universitas Tübingen hingga tahun 1933. Saat itu Partai Nazi berkuasa dan Bethe dipecat dari pekerjaannya karena ibunya orang Yahudi. Bethe pindah ke Inggris dan pada tahun 1935 pindah ke Amerika Serikat. Bersama banyak fisikawan nuklir lainnya, Bethe kemudian bekerja mengembangkan bom atom di Laboratorium Los Alamos, dan memimpin Divisi Teoritis.
Bidang kerja Bethe mengenai fisika nuklir memungkinkannya mengidentifikasi jalur-jalur reaksi fusi yang memungkinkan terciptanya inti Helium yang stabil. Atom sebuah unsur memiliki bermacam-macam jenis yang disebut isotop. Yang membedakan isotop sebuah unsur dengan yang lain adalah jumlah neutron yang terkandung di dalam nukleusnya. Hidrogen netral atau Protium, misalnya, memiliki 1 proton dan 1 elektron. Deuterium, salah satu isotop Hidrogen, memiliki tambahan 1 neutron dan relatif stabil. Helium-3 dan Helium-4 adalah dua dari 8 isotop atom Helium yang stabil, masing-masing memiliki 1 dan 2 neutron pada intinya. Houtermans mengharapkan bahwa reaksi fusi dalam bintang terjadi melalui penggabungan dua inti Hidrogen netral menjadi Diproton, isotop Helium yang sangat ringan dan tak stabil. Dua buah neutron dibutuhkan untuk menciptakan isotop Helium yang stabil, namun pada saat Houtermans dan Atkinson menulis makalah mereka pada tahun 1929, keberadaan neutron masih merupakan hipotesis. Akibatnya perhitungan Houtermans belumlah lengkap.
Pada saat Bethe melanjutkan pekerjaan Houtermans, gambaran kita mengenai dunia atom sudah lebih lengkap. Dua buah atom Hidrogen netral dapat melebur terlebih dahulu untuk membentuk Deuterium. Selanjutnya, Bethe melihat Deuterium ini dapat menangkap 1 atom Hidrogen netral lain untuk membentuk Helium-3 yang relatif cukup stabil. Dua buah Helium-3 ini kemudian dapat melebur untuk membentuk Helium-4 yang lebih stabil dan nonradioaktif. Sebagai produk samping, dua buah atom Hidrogen akan dilepaskan. Reaksi ini kemudian dikenal dengan Reaksi Proton-Proton atau Reaksi PP, karena semuanya berawal dari dua buah Proton yang melebur.

Reaksi Proton-Proton. Dua buah atom Hidrogen akan membentuk Deuterium, selanjutnya Deuterium ini akan menangkap Hidrogen netral untuk membentuk Helium-3, dan Helium-3 akan menangkap Helium-3 lain untuk menghasilkan Helium-4. Dua buah atom Hidrogen netral akan dilepaskan sebagai produk samping.
Reaksi Proton-Proton masih dapat dilanjutkan menjadi Reaksi PP-II. Helium-3 dan Helium-4 dapat melebur untuk membentuk Berilium-7 yang dapat menangkap sebuah elektron untuk menjadi Litium-7 yang stabil. Selanjutnya Litium-7 dapat menangkap sebuah atom Hidrogen dan berubah menjadi 2 buah atom Helium-4. Ini terjadi bila suhu inti berkisar antara 14 hingga 23 Juta Kelvin. Pada suhu inti di atas 23 Kelvin, terjadi reaksi PP-III: Berilium-7 akan menangkap Hidrogen netral dan berubah menjadi Boron-8. Karena Boron-8 tak stabil, ia akan meluruh menjadi Berilium-8, yang pada gilirannya akan meluruh menjadi 2 buah atom Helium.
Selain Reaksi PP, Bethe juga mengusulkan rute lain untuk menciptakan rute lain yang menggunakan atom Karbon sebagai pemicu yang berfungsi menangkap atom Hidrogen. Bila di dalam inti Matahari terdapat Karbon-12, maka setiap inti Karbon-12 akan dapat menangkap Hidrogen untuk membentuk inti atom-atom yang lebih berat, yaitu berturut-turut Nitrogen dan Oksigen. Nitrogen-15 (lihat gambar) tidak stabil sifatnya dan akan melebur kembali menjadi Karbon-12 dan akan kembali menangkap sebuah atom Hidrogen untuk memulai siklus ini kembali ke awal. Karena reaksi rantai ini membentuk sebuah siklus, maka rangkaian reaksi ini dinamakan Siklus atau Daur Karbon.

Daur Karbon yang diusulkan Bethe dan Carl von Weizsäcker
Pada awalnya dua reaksi nuklir ini masih bersifat spekulasi. Fisikawan-fisikawan lain kemudian memeriksa perhitungan-perhitungan Bethe dan memastikan bahwa reaksi ini dapat terjadi apabila kondisinya tepat.

Hans Bethe dan Siklus Karbon. Foto ini diambil di Universitas Cornell pada tahun 1996, saat Bethe berusia 90 tahun. Kredit foto: Michael Okoniewski
Pada tahun 1940an jelaslah bahwa reaksi-reaksi inti ini memang benar-benar terjadi di dalam “tungku” Matahari. Pengamatan spektrum matahari lagi-lagi menjadi kunci karena kelimpahan unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari reaksi-reaksi ini dapat dikonfirmasi melalui spektroskopi Matahari. Atas jasa-jasa Bethe mengidentifikasi produksi energi bintang-bintang, ia diganjar Hadiah Nobel pada tahun 1967.
Setelah melihat bentuk Reaksi PP maupun Siklus Karbon, kita mungkin dapat melihat bahwa reaksi ini pada intinya mengubah Hidrogen menjadi Helium. Perlahan tapi pasti, Hidrogen berubah bentuk menjadi Helium dan dapat habis. Pada akhirnya, apabila sebuah bintang tak dapat lagi membakar Hidrogen menjadi Helium, maka cara lain untuk membangkitkan energi yang dapat mengimbangi tekanan gravitasi harus terjadi. Apabila tidak ada, maka bintang tak akan sanggup menahan tekanan gravitasi dan akan runtuh. Apakah masih ada cara lain?
Dua buah atom Helium-4 dapat bergabung untuk membentuk Berilium-8, yang pada gilirannya dapat menangkap sebuah atom Helium-4 lain untuk menjadi Karbon-12. Reaksi ini sangat penting perannya karena merupakan satu-satunya reaksi nuklir yang dapat menciptakan unsur Karbon dalam jumlah signifikan di jagad raya ini. Namun banyak problem yang menghambat reaksi ini dapat terjadi. Reaksi ini hanya dapat terjadi pada suhu yang ekstrim tinggi, yaitu pada suhu 100 Juta Kelvin. Syarat lain untuk dapat terjadi adalah apabila terdapat atom Helium-4 dalam jumlah besar. Masalah berikutnya adalah Berilium-8 merupakan atom yang sangat tak stabil dan hanya mampu bertahan dalam waktu kurang dari 10-18 detik atau hanya satu per milyar milyar detik, amat sangat singkat! Hampir tak mungkin Berilium-8—sebelum peluruhannya —dapat menangkap Helium-4 terdekat untuk berubah menjadi Karbon-12. Bahkan bila ini dapat terjadi pun, masih ada rintangan lain yang harus dihadapi.

Reaksi Triple Alpha yang diciptakan oleh Fred Hoyle

Fred Hoyle (1915--2001), astrofisikawan Inggris yang sangat kontroversial.
Massa gabungan Helium-4 dengan Berilium-8 lebih besar daripada massa Karbon-12, jadi apabila kedua atom dapat bergabung sekalipun, akan ada kelebihan massa yang harus dibuang. Tentu saja kelebihan massa ini akan diubah menjadi energi melalui persamaan E = mc2, namun semakin besar perbedaan massanya maka waktu reaksinya akan semakin lama dan Berilium-8, yang waktu peluruhannya sangat cepat, tidak punya waktu untuk menunggu reaksi ini selesai. Karbon-12 harus terbentuk dengan segera karena usia Berilium-8 teramat sangat pendek.
Karbon adalah unsur paling berlimpah di alam semesta setelah Hidrogen, Helium, dan Oksigen. George Gamow dan mahasiswa bimbingannya, Ralph Alpher, menemukan bahwa dalam waktu beberapa menit sesudah big bang terjadi, alam semesta terdiri atas 75% Hidrogen dan 25% Helium, namun unsur-unsur yang lebih berat dari itu tidak tercipta karena alam semesta keburu mendingin sebelum terjadi reaksi fusi yang memungkinkan terjadinya pembentukan unsur-unsur berat. Namun kenyataannya, di Bumi ini kita menemukan unsur-unsur berat, mulai dari Hidrogen, Helium, Litium, hingga Uranium, Plutonium, dan seterusnya. Di Bumi kita, elemen-elemen berat seperti Silikon, Aluminium, Besi, adalah unsur-unsur paling berlimpah. Tubuh manusia mengandung 18.5% Karbon dan kita mengetahui Karbon adalah unsur yang selalu hadir dalam hampir segala bentuk kehidupan. Menjawab pertanyaan mengenai asal-usul unsur berat ini sama artinya dengan menjawab sebagian pertanyaan mengenai asal-usul kehidupan, sebuah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan peradaban manusia.
Untuk menjelaskan pembentukan unsur-unsur berat di alam semesta inilah, Fred Hoyle, astrofisikawan Inggris, menciptakan reaksi Triple-Alpha. Ia menemukan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan Karbon adalah melalui reaksi nuklir di alam inti bintang yang luar biasa panas dan penuh dengan Helium. Namun reaksi ini pun, bila dapat terjadi, amat bermasalah. Pertama, Berilium-8 teramat tidak stabil dan tak dapat bertahan lama. Kedua, perubahan Helium dan Berilium menjadi Karbon membutuhkan waktu yang cukup signifikan karena adanya perbedaan massa yang besar. Nampaknya tidak ada solusi atas situasi ini, namun Hoyle mampu menyelesaikannya dengan brilian. Proses olah pikir Hoyle dalam menjawab masalah ini akan menjadi topik berikutnya.